Puisi adalah kasusteraan yang paling tua. Sejak dahulu,
berpuisi adalah cara kuno dalam masyarakat, atau pada waktu tersebut di sebut
mantra. Dalam masyarakat Jawa terdapat tradisi nembang Jawa, lirik puisi yang
dilagukan. Biasanya, nembang didendangkan pada acara-acara sakral dan penting,
seperti acara mitoni, siraman, dan pesta desa lainnya. Selain lirik puisi yang ditembangkan, juga
bisa menggunakan kisah cerita, seperti kisah Raden Panji, Dewi Nawang Wulan,
Jaka Tingkir, dan lainnya.
Puisi tidak hanya dilagukan untuk mengisahkan cerita,
namun, puisi juga dapat dijadikan dialog-dialog dalam pementasan ludruk,
ketoprak, drama tradisional Jawa, atau orang Sumatra Barat menyebutnya Randai.
Puisi tak hanya indah kata-katanya, melainkan juga isinya yang mengandung
petuah, nasihat, dan pesan untuk pendengar.
Dalam perkembangan puisi di Indonesia, dikenal dengan
berbagai jenis tipografi da model puisi yang menunjukkan perkembangan struktur
puisi tersebut. Ciri struktur puisi dari jaman ke jaman tidak hanya ditandai
dengan struktur fisik, tetapi juga oleh struktur makna atau tematiknya.
Berikut perkembangan puisi di Indonesia, mulai dari
angkatan balai pustaka, hingga puisi jaman sekarang.
1.
Balai Pustaka
Pada angkatan
ini, puisi masih berupa mantra, pantun, dan syair, yang merupakan puisi
terikat.
-
Mantra, jenis puisi tertua yang terdapat di dalam kesusastraan daerah di
seluruh Indonesia. Kumpulan pilihan kata-kata yang dianggap gaib dan digunakan
manusia untuk memohon sesuatu dari Tuhan. sehingga mantra tidak hanya memiliki
kekuatan kata melainkan juga kekuatan batin.
-
Pantun dan Syair, puisi lama yang struktur tematik atau struktur makna
dikemukkan menurut aturan jenis pantun atau syair, dalam hal ini, pantun dan
syair masih berupa puisi terikat.
-
2.
Pujangga Baru (1933-1945)
Jika pada angkatan balai pustaka
penulisan puisi masih banyak dipengaruhi oleh puisi lama, maka pada angkatan
Pujangga Baru diciptakan puisi baru, yang melepaskan ikatan-ikatan puisi lama.
Sehingga munculnya jenis-jenis puisi baru, yaitu : distichon (2 baris), tersina
(3 baris), quartrin (4 baris), quint (5 baris), sextet (6 baris), septima (7
baris), oktaf (8 baris), soneta (14 baris).
Dalam periode ini terdapat beberapa
julukan untuk penyair Indonesia, seperti Amir Hamzah sebagai Raja Penyair
Pujangga Baru, dan ia disebut oleh H.B. Jassin sebagai Penyair Dewa Irama. J.E.
Tatengkeng disebut sebagai Penyair Api Naionalisme, dan sebagainya.
Para penyair yang dapat dikategorikan
msuk dalam periode Pujangga Baru adalah :
-
Amir Hamzah, “Nyanyi Sunyi” / 1937 dan “Buah Rindu” /1941
-
Sutan Takdir Alisyahbana, “Tebaran Mega” / 1936
-
Armijn Pane, “Jiwa Berjiwa” / 1939, “Gamelan Jiwa” / 1960
-
Jan Engel Tatengkeng “Rindu Dendam” / 1934
-
Asmara Hadi, “Api Nasionalisme”
-
Dll.
3.
Angkatan 45 (1945-1953)
Jika pada periode sebelumnya melakukan
pembaharuan terhadap bentuk puisi, pada periode ini dilakukan perubahan
menyeluruh. Bentuk puisi soneta, tersina, dan sebagainya tidak dipergunakan
lagi. Dasar angkatan 45 ini adalah adanya
‘Surat Keperecayaan Gelanggang’, yang berbunyi :
Kami adalah ahli waris yang sah dari
kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.
Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah
kumpulan campur-baur dari mana dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Keindonesiaan kami tidak semata-mata
karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis
kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh
wujud pernyataan hati dan pikiran kami.
Kami tidak akan memberi kata ikatan
untuk kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat akan melap-lap hasil kebudayaan
lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu
penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh
kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara yang
dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala
usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran
nilai.
Revolusi bagi kami ialah penempatan
nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikian kami
berpendapat, bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.
Dalam penemuan kami, kami mungkin
tidak selalu asli; yang pokok ditemui adalah manusia. Dalam cara kami mencari,
membahas, dan menelaahlah kami membawa sifat sendiri.
Penghargaan kami terhadap keadaan
keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya
saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.
Angkatan
45 memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. puisi memiliki
struktur bebas
2. kebanyakan
beraliran ekspresionisme dan realisme
3. diksi
mengungkapkan pengalaman batin penyair
4. menggunakan bahasa
sehari-hari
5. banyak puisi bergaya
sinisme dan ironi
6. dikemukakan
permasalahan kemasyarakatan, dan kemanusiaan
Penyair yang
dapat diktegorikan pada periode ini adalah sebagai berikut :
- Chairil Anwar
Krikil Tajam / 1949, Deru Campur Debu / 1949, Tiga Menguak Takdir / 1950
-
Sitor Situmorang, Surat Kertas Hijau /
1954, Dalam Sajak / 1955, Wajah Tak Bernama / 1956, Zaman Baru / 1962
-
Harjadi S. Hartowardojo, Luka Bayang /
1964
-
Dll.
4.
Periode 1953-1961
Jika
pada angkatan 45 yang menyuarakan kemerdekaan, semangat perjuangan dan
patriotisme, maka pada periode ini membicarakan masalah kemasyarakatan yang
menyangkut warna kedaerahan. Sifat revolusioner yang berapi-api, mulai
merada. Mulai banyaknya puisi beraliran romantik dan kedaerahan dengan gaya
penceritaan balada. Puisi pada periode ini banyak yang mengungkapkan subkultur,
suasana muram, masalah sosial, cerita rakyat dan mitos (Atmo Karpo, Paman
Ddoblang, dan sebagainya).
Cirri
yang menonjol pada periode ini adalah munculnya politik dalam sastra, sehingga
lahirnya LKN, LEKRA, LESBUMI, LKK, dan sebagainya.
Ciri
khas puisi pada periode ini adalah :
1. Bergaya epic (bercerita)
2. Gaya mantra mulai
dimasukkan dalam balada
3. Gaya repetisi dan retorik
semakin berkembang
4. Banyak digambarkan suasana
muram penuh derita
5. Menerapkan masalah social,
kemiskinan
6. Dasar penciptaan balaa dari
dongeng kepercayaan
Para penyair yang dapat digolongkan dalam
periode ini adalah :
-
Willibrordus Surendra (W.S Rendra) Empat Kumpulan Sajak / 1961, Balada Orang-Orang Tercinta / 1957
-
Ramadhan Karta Hadimaja, Priangan Si Jelita / 1958
-
Toto Sudarto Bachtiar, Suara / 1956
-
Dll.
5.
Angkatan 66 (1963-1970)
Masa ini didominasi oleh sajak
demonstrasi atau sajak protes yang dibaca untuk mengobarkan semangat para
pemuda dalam aksi demonstrasi, seperti pada tahun 1966 ketika sedang terjadi
demonstrasi para pelajar dan mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Lama. Penyair
seperti Taufiq Ismail dan Rendra, membacakan sajak protes mereka didepan para
pemuda.
Untuk mengobarkan semangat aktivitas
kreatis angkatan 66, mulai munculah fasilitas-fasilitas sastra. Fasilitas
tersebut antara lain, munculnya majalah Horison (1966), Budaja Djaja (1968, dan
dibangunnya Taman Isail Maruki (TIM), yang menjadi pusat kebudayaan.
Pada periode ini berkembang dua aliran
besar puisi. Aliran pertama adalah aliran neo-romantisme yang menegaskan sepi
sebagai perlawanan yang bersifat metafisis, atas dunia. Penyair yang menganut
aliran ini adalah Goenawan Mohammad, Sapardi Djoko Darmono, dan Abdul Hadu W.M.
Aliran yang kedua adalah aliran
intelektualisme, aliran yang menekankan pada pengamatan kritis tentang dunia
dan pengalaman pribadi. Penyair yang yang beraliran intelektualisme adalah
Subagio Sastrowardoyo dan Toety Heraty.
Berikut penyair yang termasuk dalam
angkatan 66 :
-
Taufiq Ismail, Tirani / 1966, Benteng / 1966
-
Sapardi Djoko Darmono, Dukamu Abadi /
1969, Mata Pisau / 1974
-
Linus Surjadi A.G., Pengakuan Pariyem /
1981
-
Dll.
6.
Puisi Kontemporer (1970 – sekarang)
Pada periode ini puisi disebut puisi
kontemporer, puisi yang muncul pada masa kini dengan bentuk dan gaya yang tidak
mengikuti kaidah puisi pada umumnya, dan memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan
puisi lainnya. Dalam puisi kontemporer, salah satu yang penting adalah adanya
eksplorasi sejumlah kemungkinan baru, antara lain penjungkirbalikan kata-kata
baru dan penciptaan idiom-idiom baru.
Pada puisi kontemporer bertema protes,
humanisme, religius, perjuangan, dan kritik sosial. Puisi kontemporer bergaya
seperti mantra, menggunakan majas, bertipografi baru dengan banyak asosiasi
bunyi,dan banyaknya penggunaan kata dari bahasa daerah yang menunjukkan
kedaerahaannya.
Dalam dunia perpuisisan kontemporer,
Sutardji mengebangakan puisi-puisi baru, dan mengiprovisasi puisinya. Hal ini
terlihat pada sajak Sutardji ‘O, Amuk, Kapak’.
Yang termasuk penyair kontemporer
adalah :
-
Sutardji Colzoum Bahri, O, Amuk, Kapak
, Tragedi Winka Sihka, Batu
-
Emha Ainun Najib, ‘M’ Frustrasi /
1976, Nyanyian Gelandangan / 1981
-
Sapardi Djoko Darmono, Dukamu Abadi /
1969, Mata Pisau / 1974
-
Dll.
Ciri-ciri Puisi Lama:
1. Anonim (pengarangnya tidak diketahui)
2. Terikat jumlah baris, rima, dan irama
3. Merupakan kesusastraan lisan
4. Gaya bahasanya statis (tetap) dan klise
5. Isinya fantastis dan istanasentris
Ciri-ciri Puisi Baru:
1. Pengarangnya diketahui
2. Tidak terikat jumlah baris, rima, dan irama
3. Berkembang secara lisan dan tertulis
4. Gaya bahasanya dinamis (berubah-ubah)
5. Isinya tentang kehidupan pada umumnya
1. Anonim (pengarangnya tidak diketahui)
2. Terikat jumlah baris, rima, dan irama
3. Merupakan kesusastraan lisan
4. Gaya bahasanya statis (tetap) dan klise
5. Isinya fantastis dan istanasentris
Ciri-ciri Puisi Baru:
1. Pengarangnya diketahui
2. Tidak terikat jumlah baris, rima, dan irama
3. Berkembang secara lisan dan tertulis
4. Gaya bahasanya dinamis (berubah-ubah)
5. Isinya tentang kehidupan pada umumnya
No comments:
Post a Comment